SURGA PALSU
Pada awal sebelum orang-orang kampungku tau kalau ceritanya palsu, percakapanku dan kisah-kisahnya begitu panjang. Tampak asli dan original. Awalnya memang sayup tapi kemudian riaknya semakin deru dan perlahan bergelombang. Gelombang yang begitu panjang.
Ini kisahnya,
Di kampungku, ada teman sejak kecil, humoris, jenaka dan agak aneh, tapi disukai banyak orang karena kisah-kisahnya. Maun namanya. Ia suka mengajak berkumpul orang-orang di kampung, berkumpul hanya untuk berkisah, apapun saja. Hampir tiap hari dan setiap menjelang sore ia berkisah bersama orang-orang kampungku yang berkumpul. Pemandangan ini seakan sudah menjadi agenda harian kampungku. Tapi anehnya orang-orang kampungku selalu percaya pada kisah-kisahnya. Begitu seterusnya. Setelah Maun usai berkisah dan pulang ke rumah masing-masing, barulah mereka sadar kalau apa yang diceritakan Maun tidak masuk akal dan aneh. Tapi sore berikutnya mereka berkumpul kembali di sore yang sama dan tentu dengan Maun dan kisah-kisahnya yang beda. Entah dari mana Maun mengumpulkan kisah sebanyak itu. Tak bosan-bosan orang-orang mendengar kisahnya. Ya, hanya aku orang satu-satunya yang tidak pernah percaya pada kisah-kisahnya, selain karena memang aneh, aku sudah lama kenal dan berteman dengannya. Kisahnya palsu, begitu aku mengatakannya.
Tepat di bulan Ramadlan, sore itu orang-orang berkumpul lebih banyak dari biasanya, tapi kali ini mereka berkumpul bukan karena ingin mendengarkan kisah-kisah Maun, melainkan karena senja. Ya, mereka berkumpul hanya ingin melihat senja yang agak memerah, rona katanya. Tapi Selidik-selidik, ternyata mereka berkumpul hanya untuk menunggu adzan tiba, sekedar berkumpul saja. Bukan senja sebabnya. Meskipun sebenarnya senja kali ini memang cukup indah dan beda dengan biasanya. Tapi bukannya orang-orang kampungku memang sudah biasa dengan keindahan senja? Rumahnya saja berserambi pada laut, nyanyiannya ombak, siulnya angin. Begitulah di kampungku.
Maun yang mengetahui orang berkumpul, ia langsung merapat ke arah perkumpulan itu. Mulailah Maun berkisah. Kisah kali ini katanya asli, tidak palsu. Tapi asli tidak asli, mereka tetap saja mempercayainya. “Besok aku akan menikah”, ujarnya. Pandangannya lurus, agak lebih serius dari sebelumnya. Entah apakah karena Ia sudah berjanji akan berkisah dengan kisah yang asli dan tidak palsu itu, tapi bagiku tetap saja kisahnya palsu. Meskipun kali ini aku melihat matanya berkaca-kaca, bersinar agak serius memang. Ah! Tetap saja bagiku palsu.
“Hari itu” begitu Maun melanjutkan ceritanya, dan selalu menyambungnya dengan “Hari itu...”. “Hari itu, tapat di usiaku yang ke 26-27, setelah aku banyak uang dan hidup nyaman, aku akan menikahi perempuan di kampung sebelah. Ia cantik, sangat cantik, dikampung ini tidak ada yang lebih cantik darinya. Ia anak seorang kyai. Namanya Surga. Indah bukan? Namanya saja Surga”. Ia sumringah lalu berhenti sejenak. Kali ini Ia yang menatap senja begitu lekat. Berbinar tapi agak nanar. Entah, Ia seperti melihat senja layaknya Surga. Tapi, begitu nanar dan tampak seperti melihat neraka, bukan surga.
Ia memang sering cerita tentang Surga kepadaku. Surga yang kadangkala membawaku kemasa kecil yang lucu. Surga yang sering diceritakan teman-teman kecilku dulu yang usianya lebih tua dariku. Surga yang katanya hanya dengan membagikan permen yang baru saja kubeli aku sudah bisa masuk surga, atau masuk neraka kalau aku tidak membagikan permenku. Selalu ada surga dan neraka! Kadangkala dengan surga yang Maun ceritakan aku seperti dibawa ke dunia yang tidak aku kenal sama sekali. Yang hanya bisa meraba-raba. Apa benar ada perempuan cantik seperti yang Maun ceritakan?
Katanya, surga itu memang cantik dan jarang banyak yang tahu, wajar dia anak kyai, dan katanya anak kyai itu memang jarang keluar, tidak boleh keluar kalau tidak ada urusan atau kepentingan yang benar-benar penting dan medesak. Maun pertama kali menemuinya di langgar dekat rumahnya. Waktu itu Surga khataman Al-Qur’an bersama teman-teman pondoknya. Begitulah di kampungku, bagi anak pesantren ramadlan selalu jadi momen memperbanyak amalan baik dengan memperbayak khataman Al-Qur’an dengan cara bergilir dari langgar ke langgar. Langgar pembawa berkah!
“Hari itu...” Maun melanjutkan ceritanya. Aku terhenyak dari lamunanku. Lamunan yang nyaris saja kutemui perempuan itu. Iya atau bukan. Pada akhirnya tetap saja aku tidak percaya! Palsu!
“Hari itu, aku akan menikahi Surga lebih indah dari pada kebohongan artis di tv yang sering kalian tonton. Itu bohong! Palsu!” pungkasnya. Aku bergumam, sama palsunya dengan kisah-kisahmu Maun!. Kali ini Maun agak lebih serius. Agak lebih dekat pada seorang politisi yang orasi, atau mirip mahasiswa yang marah karena aksinya dihadang polisi. Padahal sejauh aku berteman dengan Maun, Ia tidak pernah sekalipun ikut aksi apapun. Sekalipun. Tidak pernah!. Kulihat mata Maun yang memerah, nyaris mengalahkan senja yang mulai sayup tapi semakin indah. Sementara mata Maun layaknya api yang siap membakar siapa saja. Mungkin orang-orang tidak akan percaya itu mata milik Maun, tapi aku tahu baranya. Ia terus berkisah dengan amarah dan kebencian!
“Hari itu, aku akan benar-benar menikahi Surga. Aku akan punya banyak anak, aku akan kaya. Bukan cerita palsu dan kebohongan”. Aku tersenyum, orang-orang kagum. Mereka seolah sedang melihat kesatria yang gagah perkasa, pemberani. Lihat saja mata mereka!
“Allahu akbar Allahu akbar!!!” adzan kumandang, orang-orang terhenyak, mereka benar-benar terbawa pada suasana yang mencekam sampai lupa waktu berbuka puasa. Kesatria yang luar biasa!. Mereka langsung beranjak meninggalkan tempat berkumpul itu menuju rumah masing-masing tanpa sedikitpun lagi merasa haru dan kagum seperti saat Maun berkisah. Sebentar saja. Lalu tiada!
Orang-orang kampung itu berlarian, ada yang terbirit-birit, ada yang tak sempat memakai sandalnya, ditenteng sembari berkoar “Buka...Buka!!!” mungkin begitu nyeri perut itu menahan lapar seharian, atau mungkin mereka berlari karena takut tidak kebagian makanan. Atau mungkin jatah makannya takut dicurangi keluarga kecilnya. Mungkin saja. Luar biasa indah kisah-kisah di kampung kami, Lucu melihnya. Tapi tidak pada kisah-kisah bohong Maun yang palsu!
Senja kembali rekah, kali ini agak menguning, laut dibawahnya terpancar cahaya memantulkan cahaya yang berkilau. Maka cukup mataku yang terus tertuju kearah keindahan itu kemudian tak henti-henti mengucapkan “Subhanallah!!!”
Orang-orang masih berdatangan dan berkumpul seperti biasanya, bercakap dan berbincang. Tapi sore ini tak ada kisah-kisah kestaria yang gagah, pemberani seperti yang ada dalam pikiran mereka sore kemarin. Tak ada wajah yang kaku tercengang oleh kisah-kisah, tak ada lagi tubuh yang dijarah kisah-kisah.
“saya terima nikahnya Surga bin Rafi’ie dengan maskawin seperangkat alat sholat dibayar tunai!”
“Sah, sah sah!!!”
Maun terbangun, mengulum senyum, simpul saja. Kemudian Ia melirik satu persatu orang yang duduk disekitarnya. Ya, mereka orang-orang yang selalu setia mendengarkan kisah-kisahnya!
Adakapal.